Penulis: Bambang Setiaji
Dalam agama Islam, merokok dikategorikan makruh hukumnya, artinya jika dilakukan tidak berdosa tetapi jika ditinggalkan berpahala atau disukai Tuhan. Pada masa lalu, orang tidak memahami efek negatif dari merokok. Bahaya merokok baru diketahui setelah 20-30 tahun kemudian. Secara kasat mata diketahui bahwa rokok menyebabkan ketagihan dan pengeluaran biaya untuk merokok tidak ada manfaatnya. Sehingga banyak tokoh agama menilai bahwa perbuatan merokok adalah mubazir.Rakyat Indonesia diperkirakan membakar uang untuk merokok senilai Rp 120 Trilyun. Jika uang sebanyak itu digunakan untuk menyehatkan dan mendidik anak bangsa, maka jangka panjang Indonesia akan menjadi negara kuat dan mampu bersaing dengan negara lain. Sayang, bertahun-tahun kita terus melakukan tindakan yang mubazir tersebut, bahkan pemerintah merasa senang karena tahun ini diperkirakan bisa meraup penghasilan cukai sekitar Rp 44 Trilyun. Dalam ilmu kesehatan telah diketahui bahwa rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia berbahaya yang dapat menyebabkan ketagihan, merusak paru, menyebabkan kanker, impotensi, gangguan bayi dalam kandungan dan membahayakan orang di sekitarnya. Sayangnya kebiasaan merokok di Indonesia masih cukup tinggi, sekitar 34,4 % penduduk Indonesia usia 15 tahun keatas mempunyai kebiasaan merokok (Susenas 2004). Dari data tersebut laki-laki yang merokok sekitar 63% dan perempuan yang merokok sekitar 5%. Bahkan pada sektor informal, sekitar 85% tukang ojek mempunyai kebiasaan merokok (Penelitian Bambang Setiaji, 2006). Masyarakat banyak yang tidak menyadari bahaya rokok bagi dirinya dan keluarganya di masa depan. Oleh sebab itu perlu ada upaya lebih keras untuk mencegah semakin banyak penyakit, kematian, dan kerugian ekonomis yang tidak produktif akibat rokok. Adanya cukai rokok sesungguhnya secara khusus menunjukkan bahwa rokok merupakan sesuatu yang membahayakan, tidak dianjurkan untuk dikonsumsi, dan mendorong pengurangan konsumsi rokok. Falsafah cukai rokok sesungguhnya menghambat penggunaan rokok dengan memberikan beban ekonomi yang lebih besar. Hal itu merupakan suatu langkah untuk menyehatkan penduduk sekaligus mengurangi pemborosan. Sayang, banyak pengambil kebijakan di Indonesia hanya melihat pemasukan dari rokok, BUKAN falsafahnya. Negara-negara yang lebih maju terus menaikan cukai rokok untuk mengurangi pemborosan rakyatnya dan menggunakan uang cukai tersebut untuk promosi kesehatan dan mendanai pelayanan kesehatan bagi rakyat, bukan sekedar yang miskin. Sayangnya, pemerintah Indonesia masih terlalu takut menaikan cukai rokok. Akibatnya semakin banyak rakyat yang menjadi korban. Perusahaan rokok menikmati keuntungan yang luar biasa besarnya dan karenanya semakin agresif memasarkan dan meracuni generasi muda. Di banyak negara, seperti di Thailand, Singapura, Australia, Amerika, Kanada, dll, pemerintah menaikan cukai rokok dan penghasilan tambahan dari kenaikan cukai rokok digunakan khusus untuk mendidik masyarakat untuk berhenti merokok, mendanai pengobatan rakyat yang tidak mampu, membangun fasilitas kesehatan, dan berbagai kegiatan lain.Di Indonesia, industri rokok mendapatkan surga untuk menjual dan meracuni generasi muda untuk mendapatkan keuntungan yang menggiurkan. Iklan rokok bebas dipasang dimana saja, bahkan di depan sekolah. Ironisnya petani, pengecer, pedagang kecil yang selama ini dijadikan alasan untuk tidak menaikan cukai rokok, tidak banyak menikmati hasil yang sepadan dengan yang dinikmati oleh produsen rokok. Semua itu, atas beban rakyat kecil yang harus membayar biaya berobat yang semakin mahal dan terus merogoh kantongnya karena ketagihan.Hasil studi sementara yang didanai National Institute of Health , Departemen Kesehatan Amerika Serikat, studi dilakukan di tiga negara (Amerika, China, dan Indonesia) menunjukkan bahwa menaikan cukai rokok tidak mengganggu anggaran pemerintah, membantu rakyat menjadi sehat-produktif, dan menghindari dosa dan pemborosan keluarga.Jika pemerintah berani menaikan cukai rokok dari 37% menjadi paling tidak 45% seperti di Vietnam (tidak usah 63% seperti di Muangthai), maka akan terkumpul sekitar 10 Trilyun rupiah tambahan dana. Tetapi dana tambahan Rp 10 Trilyun tersebut harus digunakan (earmarked tax) untuk promosi kesehatan Rp 1 Trilyun (saat ini dana promosi kesehatan Pusat dan Dekonsentrasi dari APBN sekitar Rp 80 Milyar). Sisanya sebesar Rp 9 Trilyunnya digunakan untuk membayar iuran jaminan kesehatan bagi rakyat yang kurang mampu (bukan hanya yang miskin) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dana tersebut merupakan tambahan dana yang sekarang Rp 4,6 Trilyun untuk program Jamkesmas. Pemerintah akan mendapat kredibilitas yang lebih baik dari yang sekarang.Besar Cukai Rokok Sumber: Koordinator Indonesia untuk Studi Henti Rokok (Prof.dr. Hasbullah Thabrany)
0 komentar:
Post a Comment